Kartel Fuel Surcharge
KPPU Jerat Maskapai dengan Pasal Kecurangan
Pekerja mengisi avtur ke pesawat jenis Boeing
747 di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Enam dari 12 maskapai telah menjalani pemeriksaan pendahuluan di Komisi
Pengawas Persaingan Usaha. Pemeriksaan itu untuk menguji bukti awal dugaan
kesepakatan dari maskapai-maskapai dalam mempertahankan biaya tambahan bahan
bakar.
JAKARTA, KOMPAS.com — Upaya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membuktikan adanya kartel dalam
menetapkan biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge) cukup serius.
Kini, KPPU berniat menjerat beberapa maskapai dengan satu pasal baru.
Sebelumnya, KPPU menuding ada dugaan pelanggaran
penetapan fuel surcharge oleh 12 maskapai. KPPU menganggap,
praktik ini telah menyalahi Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Intinya, ada indikasi para
makspai itu membuat perjanjian untuk menetapkan harga.
Nah, kini, KPPU bakal menjerat dengan pasal
lain. “Kami akan kenakan pasal baru, yakni pasal 21. Indikasinya, perusahaan
maskapai penerbangan melakukan kecurangan dalam penetapan harga fuel
surcharge,” kata Direktur Komunikasi KPPU Ahmad Junaidi, Kamis (12/11).
Berdasarkan Pasal 21 tersebut, KPPU menuding
perusahaan maskapai penerbangan secara sepihak telah menetapkan harga fuel
surcharge yang tiap tahun besarannya cenderung terus meningkat.
Karena melihat semakin kuatnya indikasi
pelanggaran aturan persaingan tidak sehat, dalam kasusfuel surcharge,
kini KPPU telah menaikkan status perkara ini dari pemeriksaan pendahuluan
menjadi pemeriksaan lanjutan dengan keputusan No 1036/KPPU/PEN/XI/2009.
“Ditetapkan pada 9 November lalu dengan kurun waktu pemeriksaan selama 60 hari,
ditambah 30 hari kerja jika diperlukan,” kata Ahmad.
Namun, sejauh ini, baru sebagian dari 12
perusahaan maskapai penerbangan yang telah memenuhi panggilan KPPU. Enam
perusahaan masih menunggu penjadwalan panggilan ulang. Mereka adalah PT Kartika
Airlines, PT Trigana Air Services, PT Mandala Airlines, PT Travel Express
Aviation, PT Linus Airways, dan PT Sriwijaya Air.
Dampak pemeriksaan KPPU ini membuat industri
penerbangan berbenah. Saat ini, Departemen Perhubungan dan maskapai berencana
memasukkan biaya fuel surcharge dalam komponen tarif. Memang
belum semua maskapai sepakat. Namun, setidaknya, ada usaha memperjelas fuel
surcharge. “Hitungannya sudah ada, tinggal mencari kesepakatan. Kami akan
diskusikan dengan KPPU,” kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait beberapa
waktu lalu. (Kontan/Yudho
Winarto, Gentur Putro Jati).
Analisis Kasus
kasus diatas adalah tindakan kecurangan yang
dilakukan oleh perusahaan,
Upaya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
untuk membuktikan adanya kartel dalam menetapkan biaya tambahan bahan bakar (fuel
surcharge) cukup serius. KPPU bakal menjerat dengan pasal lain. “Kami akan
kenakan pasal baru, yakni pasal 21. Indikasinya, perusahaan maskapai
penerbangan yang melakukan kecurangan dalam penetapan harga.
Dampak pemeriksaan KPPU ini membuat industri
penerbangan berbenah. Saat ini, Departemen Perhubungan dan maskapai berencana
memasukkan biaya fuel surcharge dalam komponen tarif.
Contoh kasus
kecurangan perusahaan (Pembuangan Limbah Sembarangan)
TEMPO
Interaktif, Jombang – Puluhan warga dari dusun Jati Gedong, Ploso, dan Pager
Tanjung di Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur meluruk pabrik bumbu
masakan milik Korea, PT. Cheil Jedang Indonesia. Mereka mengeluhkan bau limbah
yang menyengat hidung. “Baunya mengganggu, dan bikin tak tenang warga,” kata
Parman, warga Desa Jati Gedong setempat, Kamis (9/12).
Terlebih,
lanjut dia, kompensasi dampak limbah sebesar Rp12 juta dalam satu tahun untuk
tiga desa itu dirasakan terlalu kecil oleh warga. Mengingat baunya yang terus
mengganggu, warga meminta pabrik menambah kompensasi lebih besar lagi bagi
warga.
Dalam
demo tadi, warga mengusung empat tuntutan. Selain menambah kompensasi atas
dampak limbah, warga juga meminta pabrik memperbaiki penyaringan limbah, serta
mendesak agar proses perekrutan tenaga memprioritaskan warga sekitar sebanyak
60 persen.
Masalah
ini menurut dia pernah diselesaikan melalui jalan musyawarah di kantor
kelurahan Jati Gedong pada April lalu. Namun hingga kini hasil rapat belum
direalisasikan oleh manajemen pabrik.. “Sampai saat ini tidak ada realisasinya,”
ujarnya.
Akibat
itu, puluhan warga yang gerah pun meluruk pabrik dengan menenteng berbagai
macam spanduk. Diangkut mobil pick up kecil mereka berorasi dengan
berteriak-teriak di depan pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 lalu itu. Demo
baru berakhir setelah perwakilan manajemen menemui mereka. Massa kemudian
pulang dengan pengawalan polisi.
Manager
General Affair perusahaan itu Mulyono menyatakan, semua tuntutan warga sudah
dipenuhi oleh perusahaan. Penanganan limbah misalnya. Setiap sebulan sekali Badan
Lingkungan Hidup (BLH) datang mengontrol limbah hasil fermentasi yang dibuang
melalui kali sekitar.
Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) juga dibuat modern dan berstandar Internasional
(ISO). Sehingga kondisi air limbah masih sesuai ambang batas. Kendati begitu,
dia mengakui limbah masih menimbulkan bau. Tapi bau itu sifatnya tak
permanen.”Ya wajar, namanya pabrik fermentasi. Kadang bau limbah muncul, kadang
tidak, ditiup angin langsung hilang,” ucapnya.
Meski
demikian, menurut Mulyono, limbah kini tidak lagi berbahaya. Kondisi itu jelas
berbeda dengan saat pertama kali pabrik berdiri pada periode 1996 hingga 1999.
Saat itu kondisi limbah masih
buruk. Warga pun demo. Hingga akhirnya pabrik mengucurkan kompensasi dana untuk
tiga desa.
Akhir
tahun ini, pabrik juga setuju menambah dana. Rencananya, mulai akhir tahun ini
kompensasi ditambah menjadi Rp14 juta. Masalahnya, dana belum bisa cair karena
surat kesepakatan dengan warga belum ditembuskan ke pabrik. “Kami sudah penuhi
semua tuntutan. Kami justru curiga ada muatan lain dalam demo tadi,” ujar
Mulyono.
Adapun
untuk perekrutan pegawai, Mulyono mengaku manajemen perusahaan sudah
memperhatikan itu. Dari total pegawai tetap, 40 persen diambil dari warga
sekitar. Sementara pegawai outsourcing juga demikian. “Urusan perekrutan
pegawai pabrik harus realistis. Masak butuh tenaga operasional komputer, yang
ada tenaga operasional traktor. Itu kan masalah,” ujarnya.
Analisis
kasus
Dari
kasus diatas perusahaan PT cheil jedang belum dapat mengatasi dampak dari
limbahnya sehingga warga dari dusun jati gedong, ploso, dan pager masih
merasakan dampak dari bau limbah yang sangat menyengat. sebaiknya perusahaan
dapat memenuhi tuntutan dari warga yaitu menambah kompensasi atas dampak limbah
dan memperbaiki penyaringan limbah sehingga limbah yang dihasilkan dapat
tersaring dan tidak mengganggu warga sekitar.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar